MENU DUNIA PENDIDIKAN
Memasuki dunia pendidikan di negeri ini, tidak bedanya kita masuk ke sebuah rumah makan atau restoran juga cafe, banyak menu yang disodorkan. Program reguler, ini menu biasa, disajikan dengan rasa standar walau ada campuran bahan impornya, masalah harga tentunya tergantung rumah makan, restoran atau cafe kelas apa yang kita masuki.
Untuk menu berstandar internasional, sesederhana apa pun rumah makan, restoran atau cafe yang kita masuki pasti harganya lebih mahal dari menu reguler, harap maklum pada menu ini banyak sekali bahan impornya, sedikit tersedia menu tahu tempe lebih banyak bahan makanan terbuat dari keju ataupun roti-rotian. Untuk juru masaknya, kadang dipaksakan agar bisa memasak hidangan berstandar internasional, para pengajar dengan sangat terpaksa mengikuti kursus bahasa Inggris agar bisa membaca resep.
Bilingual adalah bagian dari menu berstandar internasional, ada dua pilihan bahasa untuk memesan hidangan.
Akselerasi, ini menu istimewa karena tidak semua murid bisa menyantap hidangan ini, ibarat secangkir expresso yang tidak semua penikmat kopi bisa meminumnya.
Semua menu yang tersaji tujuannya satu memuaskan para pelanggan. Semua program pendidikan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan satu, ingin memintarkan anak bangsa ini seperti tujuan Ki Hajar Dewantoro, Boedi Oetomo dan para pendiri bangsa.
Kenyataan yang dihadapi dari program tersebut adalah justru banyak orang tua yang amat sangat merasa terbebani, soal biaya tentunya.
Toh sebagai seorang ahli dagang pemerintah kita hanya menjalani program sekolah gratis hanya dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama saja, padahal mereka tahu biaya pendidikan untuk sekolah yang tingkatannya lebih tinggi amat memerlukan biaya.
Ada program BOS ada juga penyelewengan, sebagai ahli dagang pemerintahlah yang tahu untung ruginya bila sekolah di negeri ini dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi bisa gratis.
Sebut saja Pak Kirman, seorang buruh dengan penghasilan pas-pasan yang dianugerahi seorang anak yang pintar, nilai Ujian Nasionalnya bila dibagi dengan pelajaran yang diuji hampir mencapai nilai sempurna, 100. Sedang bingung memilih rumah makan, restoran atau cafe mana yang akan dimasuki anaknya?
Memilih sekolah mana yang sesuai dengan taraf hidupnya, yang biaya pendidikannya tidak mengganggu kepulan asap dapurnya. Bila anaknya dimasukkan di sekolah "murah" sayang sekali kepandaian anaknya jauh di atas rata-rata dari siswa yang bersekolah di sana, tidak mempunyai saingan untuk mengasah otaknya agar bisa lebih baik dari sekarang, juga bila masuk ke sekolah "mahal" walaupun keringat Pak Kirman mengalir sampai jauh, dia tidak akan mampu membiayainya.
Berat rasanya harus menulis kata "murah" dan "mahal" di dunia pendidikan. Derita Pak Kirman dirasakan juga oleh banyak orang tua yang dianugrahi anak pandai di negeri ini.
Suasana pendidikan kembali pada zaman era penjajahan Belanda, di mana yang dapat bersekolah dengan fasilitas baik, dengan pengajar yang baik hanyalah bangsa Belanda atau kaum priyayi juga mereka yang punya uang, untuk rakyat jelata silakan bersekolah di bawah pohon bambu walau mereka tidak kalah kepintarannya dengan kaum tersebut.
Pak Munir lain lagi, mempunyai anak yang berprestasi, sang anak berkeinginan masuk ke sekolah favorit, sekolah idaman para murid yang berprestasi, namun biaya hidupnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Dan Pak Munir pun melakukan upaya religi dengan berdoa setelah salat malam agar Allah mengetuk pintu hati Presiden, pejabat dan juga anggota Dewan yang secara ikhlas telah dipilihnya agar bisa memberikan jalan keluar untuk dirinya agar bisa menyekolahkan anaknya pada sekolah pilihan putranya itu.
Harapan sederhana Pak Munir di dalam doanya adalah biaya pembangunan gedung DPR dapat dialihkan untuk membiayai pendidikan putra-putri terbaik negeri ini.
Dia pun yakin para anggota DPR tidak melakukan salat malam agar segera dibangun gedung yang baru, karena mereka tidak perlu berjuang walau dengan cara berdoa.
Jadi apakah tujuan pemerintah kita membuat menu pendidikan semacam itu?
Benar ingin meneruskan keinginan luhur para pendiri bangsa, yang bercita-cita menciptakan manusia negeri ini lebih maju, lebih pintar?
Atau pemerintah secara tidak sadar sudah melakukan apa yang dilakukan pemerintahan Belanda masa penjajahan dulu? Tujuan apa pun yang diinginkan pemerintah dalam dunia pendidikan selayaknya disertai solusi bagi seluruh rakyat.
Di dalam Undang-Undang Dasar jelas ditulis seluruh warga negara, seluruh rakyat berhak mendapat pendidikan, tidak ada tambahan pada Undang-Undang Dasar tulisan "bagi rakyat yang mampu". Jadi jelas negara atau pemerintah berkewajiban memberi pendidikan bagi rakyatnya. Semua orang tua berkeinginan menyekolahkan putra-putri mereka setinggi-tingginya.
Tidak semua orang tua mampu membiayainya.
Pak Kosasih bernasib sedikit lebih baik dari Pak Kirman dan Pak Munir, selain dianugerahi putri yang pintar, hidupnya juga "lumayan" cukup. Ya cukup untuk memberi makan anak istrinya, kadang juga sesekali mengajak keluarganya untuk berwisata walau hanya ke kebun binatang.
Beruntung Pak Kosasih masih bisa menyisihkan sedikit gajinya untuk ditabungkan pada sebuah bank terpercaya,walau baru ketahuan belakangan ini bank kepercayaannya juga berhasil dibobol miliaran rupiah.
Namun nasib baik Pak Kosasih diuji Allah.
Lelaki itu dihadapi pada pilihan menjadi orang tua yang baik dengan menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik, membawa putrinya masuk ke rumah makan, restoran atau cafe yang baik agar bisa mencicipi menu internasional? Atau lelaki itu lebih memilih menjadi muslim yang baik, berupaya menjadi muslim yang sempurna dengan menunaikan ibadah haji?
Sebab biaya sekolah putrinya tersebut setara bahkan sedikit lebih mahal dari biaya keinginannya menjadi Pak Haji.
0 komentar:
Posting Komentar